1. BIOGRAFI AL FARABI
Al-Farabi mempunyai nama lain diantaranya adalah Abu Nashr Muhammad Ibn Thorkhan Ibn Al-Uzalagh Al-Farabi, dikalangan orang-orang latin abad pertengahan Al-Farabi lebih dikenal dengan Abu Nashr (Abunasaer). Sebenarnya nama julukan Al-Farabi diambil dari nama kota Farab, Beliau dilahirkan di desa Wasij di Distrik Farab (Utrar, provinsi Transoxiana, Turkestan) pada tahun 257 H (870M), kadang-kadang Beliau mendapat sebutan orang Turki, sebab ayahnya sebagai orang Iran menikah dengan wanita Turki.[1]
Sangat sedikit yang kita bias
ketahui tentang Al-Farabi, kebanyakan infornasi biografis tersebut tiga
abad setelah wafatnya. Beberapa hal yang dapat kita ketahui tentang
latar belakang keluarga Al-farabi adalah bahwa ayahnya seorang Opsir
tentara pada Dinasti Samaniyyah yang menguasai wilayah Transoxiana
wilayah otonom Bani Abbasyyah.[2] Keturunan Persia (kendatipun nama
kakek dan kakek buyutnya jelas menunjukkan nama Turki). Ayahnya mengabdi
pada pangeran-pangeran Dinasti Samaniyyah.[3] Al Farabi meninggal di
Damaskus pada bulan Rajab 339 H/Desember 950 M pada usia 80 tahun, dan
dimakamkan di luar gerbang kecil (al-bab al-saghir) kota bagian
selatan.[4]
2. PENDIDIKAN AL FARABI
Sejak kecil Al-Farabi tekun dan
rajin belajar, dalam olah kata, tutur bahasa ia mempunyai kecakapan yang
luar biasa. Penguasaan terhadap Iran, Turkistan dan Kurdistan sangat
dia pahami, justru bahasa Yunani dan Suryani sebagai bahasa Ilmu
Pengetahuan pada masa itu belum dia kuasai. Pendidikan dasarnya ditempuh
di Farab, yang penduduknya bermazhab Syafii.[5]
Untuk memulai karir dalam
pengetahuannya, dia berhijrah dari negrinya ke kota Bagdad pada tahun
922 M yang mana pada waktu itu disebut sebagai kota Ilmu pengetahuan.
Beliau belajar disana kurang lebih 10 tahun. Dengan berbekal ketajaman
integensi sejak awal, dan mendapat karunia besar untuk menguasai hamper
semua pelajaran yang dipelajari, Ia segera terkenal sebagai seorang
filosof dan ilmuwan.[6] Beliau sangat menguasai semua cabang filsafat,
logika, fisika, ketuhanan, ilmu alam, kedokteran, kimia, ilmu perkotaan,
ilmu lingkungan, fiqih, ilmu militer, dan musik.[7] Di Baghdad, Beliau
berguru kepada Ibnu Suraj untuk belajar tata bahasa Arab dan kepada Abu
Bisyr Mattius Ibn Yunus untuk belajar filsafat dan logika. Beliau juga
belajar kepada seorang Kristen Nestorian, tokoh filsafat aliran
Alexandria yang banyak menterjemahkan filsafat Yunani, yaitu Yuhana Ibn
Hailan yang sekaligus mengajak Al Farabi pergi ke Konstantinopel dan
tinggal di sana selama 8 tahun guna mendalami filsafat. Sepulang dari
Konstantinopel, Al Farabi mencurahkan diri dalam belajar, mengajar, dan
menulis filsafat.
3. KARIER AL FARABI
Al-Farabi dikenal sebagai filsuf
besar memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan memandang
filsafat secara utuh menyeluruh dan mengupasnya dengan sempurna,
sehingga filsuf yang datang seseudahnya seperti Ibn Sina dan Ibn Rusyd
banyak mengambil filsafatnya. Pandangan al-Farabi tentang filsafat
terbukti dengan usahanya untuk mengahiri kontradiksi antara pemikiran
Plato dengan Aristoteles melalui risalahnya ‘Al-Jami’u baina ra’yay
al-Hakimain Aflatun wa Aristhu’, pengetahuan yang mendalam tentang
filsafat Plato dan Aristoteles menyebabkan Al-Farabi dijuluki sebagai
‘Al-Mu’alim At-Tsani’ (Guru kedua) sedangkan Al-Mu’alim al-awal (Guru
pertama) adalah Aristoteles.[8]
Pada tahun 330 H (945 M) Beliau
pindah ke Damaskus dan berkenalan dengan Saif Al-Daulah Al-Hamdani,
Sultan Dinasti Hamdan di Aleppo. Di tempat ini beliau bertemu dengan
para sastrawan, penyair, ahli bahasa, ahli fiqih, dan cendekiawan
lainnya. Di Damaskus Al Farabi bekerja di siang hari sebagai tukang
kebun, dan pada malam hari belajar teks-teks filsafat. Al Farabi
terkenal sangat saleh dan zuhud.[9] Kemudian sultan memberi kedudukan
kepada beliau sebagai ulama istana dengan imbalan yang besar sekali,
tetapi Al-Farabi lebih memilih hidup sederhana (zuhud) dan tidak
tertarik kepada kemewahan dan kekayaan. Al-Farabi hanya membutuhkan
empat dirham untuk sekedar memenuhi kehidupan sehari-hari. Sedangkan
tunjangannya, Beliau bagikan kepada fakir-miskin dan amal sosial di
Aleppo dan Damaskus. Kurang lebih 10 tahun Al-Farabi hidup di dua kota
tersebut secara berpindah-pindah.
4. POKOK-POKOK PEMIKIRAN AL FARABI
Pokok-pokok pemikiran filsafat filsuf Al Farabi yang akan kami bahas, antara lain:
a. Filsafat Al Farabi
Al Farabi mendefinisikan
filsafat adalah: Al Ilmu Bilmaujudaat Bima Hiya Al Maujudaat, yang
berarti suatu ilmu yang menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang
ada ini. Bagi al Farabi, tujuan filsafat dan agama sama, yaitu
mengetahui semua wujud. Hanya saja filsafat memakai dalil-dalil yang
yakini dan ditujukan kepada golongan tertentu, sedang agama memakai cara
iqna’i (pemuasan perasaan), dan kiasan-kiasan, serta gambaran, dan
ditujukan kepada semua orang, bangsa, dan negara.[10] Al Farabi berhasil
meletakkan dasar-dasar filsafat ke dalam ajaran Islam. Dia juga
berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara filsafat Plato dan
Aristoteles, sebab kelihatan berlainan pemikirannya tetapi hakikatnya
mereka bersatu dalam tujuannya.
Al Farabi mendasarkan hidupnya
atas kemurnian jiwa, bahwa kebersihan jiwa dari kotoran-kotoran
merupakan syarat pertama bagi pandangan filsafat dan buahnya. Al Farabi
mempunyai dasar berfilsafat adalah memperdalam ilmu dengan segala yang
maujud hingga membawa pengenalan Allah sebagai penciptanya. Dengan arah
ke situ, maka filsafat adalah ilmu satu-satunya yang dapat menghamparkan
di depan kita dengan gambaran yang lengkap mengenai cakrawala dengan
segala cosmosnya (kaum).[11] Menurut Al Farabi tujuan terpenting dalam
mempelajari filsafat ialah mengetahui Tuhan. Bahwa Ia Esa dan tidak
bergerak, bahwa Ia menjadi sebab yang aktif bagi semua yang ada, bahwa
Ia yang mengatur alam ini dengan kemurahan, kebijaksanaan, dan
keadilan-Nya.[12]
b. Filsafat Politik Al Farabi
Al Farabi berpendapat bahwa ilmu
politik adalah ilmu yang meneliti berbagai bentuk tindakan, cara,
hidup, watak, disposisi positif, dan akhlak. Semua tindakan tersebut
dapat diteliti mengenai tujuannya, dan apa yang membuat manusia dapat
melakukan seperti itu, dan bagaimana yang mengatur, memelihara tindakan
dengan cara yang baik dapat diteliti. Dengan kata lain, politik adalah
bentuk operasional dari pemerintah dan raja. Pemerintah, raja, atau
penguasa ini haruslah orang yang paling unggul, baik dalam bidang
intelektual maupun moralnya diantara yang ada.[13] Adapun pemerintahan
dapat menjadi benar-benar baik jika ada teoritis dan praktis bagi
pengelolannya.[14]
c. Definisi dan Esensi Jiwa
Al Farabi mendefinisikan jiwa
sebagaimana definisi Aristoteles, yaitu ‘kesempurnaan awal bagi fisik
yang bersifat alamiah, mekanistik, dan memiliki kehidupan yang
energik’.[15] Makna ‘jiwa merupakan kesempurnaan awal bagi fisik’ adalah
bahwa manusia dikatakan menjadi sempurna ketika menjadi makhluk yang
bertindak. Kemudian makna ‘mekanistik’ adalah bahwa badan menjalankan
fungsinya melalui perantara alat-alat, yaitu anggota tubuhnya yang
beragam. Sedangkan makna ‘memiliki kehidupan energik’ adalah bahwa di
dalam dirinya terkandung kesiapan hidup dan persiapan untuk menerima
jiwa.
sumber dari :
1. BIOGRAFI AL FARABI
Al-Farabi mempunyai nama lain diantaranya adalah Abu Nashr Muhammad Ibn Thorkhan Ibn Al-Uzalagh Al-Farabi,
dikalangan orang-orang latin abad pertengahan Al-Farabi lebih dikenal
dengan Abu Nashr (Abunasaer). Sebenarnya nama julukan Al-Farabi diambil
dari nama kota Farab, Beliau dilahirkan di desa Wasij di Distrik Farab
(Utrar, provinsi Transoxiana, Turkestan) pada tahun 257 H (870M),
kadang-kadang Beliau mendapat sebutan orang Turki, sebab ayahnya sebagai
orang Iran menikah dengan wanita Turki.[1]
Sangat sedikit yang kita bias
ketahui tentang Al-Farabi, kebanyakan infornasi biografis tersebut tiga
abad setelah wafatnya. Beberapa hal yang dapat kita ketahui tentang
latar belakang keluarga Al-farabi adalah bahwa ayahnya seorang Opsir
tentara pada Dinasti Samaniyyah yang menguasai wilayah Transoxiana
wilayah otonom Bani Abbasyyah.[2] Keturunan Persia (kendatipun nama
kakek dan kakek buyutnya jelas menunjukkan nama Turki). Ayahnya mengabdi
pada pangeran-pangeran Dinasti Samaniyyah.[3] Al Farabi meninggal di
Damaskus pada bulan Rajab 339 H/Desember 950 M pada usia 80 tahun, dan
dimakamkan di luar gerbang kecil (al-bab al-saghir) kota bagian
selatan.[4]
2. PENDIDIKAN AL FARABI
Sejak kecil Al-Farabi tekun dan
rajin belajar, dalam olah kata, tutur bahasa ia mempunyai kecakapan yang
luar biasa. Penguasaan terhadap Iran, Turkistan dan Kurdistan sangat
dia pahami, justru bahasa Yunani dan Suryani sebagai bahasa Ilmu
Pengetahuan pada masa itu belum dia kuasai. Pendidikan dasarnya ditempuh
di Farab, yang penduduknya bermazhab Syafii.[5]
Untuk memulai karir dalam
pengetahuannya, dia berhijrah dari negrinya ke kota Bagdad pada tahun
922 M yang mana pada waktu itu disebut sebagai kota Ilmu pengetahuan.
Beliau belajar disana kurang lebih 10 tahun. Dengan berbekal ketajaman
integensi sejak awal, dan mendapat karunia besar untuk menguasai hamper
semua pelajaran yang dipelajari, Ia segera terkenal sebagai seorang
filosof dan ilmuwan.[6] Beliau sangat menguasai semua cabang filsafat,
logika, fisika, ketuhanan, ilmu alam, kedokteran, kimia, ilmu perkotaan,
ilmu lingkungan, fiqih, ilmu militer, dan musik.[7] Di Baghdad, Beliau
berguru kepada Ibnu Suraj untuk belajar tata bahasa Arab dan kepada Abu
Bisyr Mattius Ibn Yunus untuk belajar filsafat dan logika. Beliau juga
belajar kepada seorang Kristen Nestorian, tokoh filsafat aliran
Alexandria yang banyak menterjemahkan filsafat Yunani, yaitu Yuhana Ibn
Hailan yang sekaligus mengajak Al Farabi pergi ke Konstantinopel dan
tinggal di sana selama 8 tahun guna mendalami filsafat. Sepulang dari
Konstantinopel, Al Farabi mencurahkan diri dalam belajar, mengajar, dan
menulis filsafat.
3. KARIER AL FARABI
Al-Farabi dikenal sebagai filsuf
besar memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan memandang
filsafat secara utuh menyeluruh dan mengupasnya dengan sempurna,
sehingga filsuf yang datang seseudahnya seperti Ibn Sina dan Ibn Rusyd
banyak mengambil filsafatnya. Pandangan al-Farabi tentang filsafat
terbukti dengan usahanya untuk mengahiri kontradiksi antara pemikiran
Plato dengan Aristoteles melalui risalahnya ‘Al-Jami’u baina ra’yay
al-Hakimain Aflatun wa Aristhu’, pengetahuan yang mendalam tentang
filsafat Plato dan Aristoteles menyebabkan Al-Farabi dijuluki sebagai
‘Al-Mu’alim At-Tsani’ (Guru kedua) sedangkan Al-Mu’alim al-awal (Guru
pertama) adalah Aristoteles.[8]
Pada tahun 330 H (945 M) Beliau
pindah ke Damaskus dan berkenalan dengan Saif Al-Daulah Al-Hamdani,
Sultan Dinasti Hamdan di Aleppo. Di tempat ini beliau bertemu dengan
para sastrawan, penyair, ahli bahasa, ahli fiqih, dan cendekiawan
lainnya. Di Damaskus Al Farabi bekerja di siang hari sebagai tukang
kebun, dan pada malam hari belajar teks-teks filsafat. Al Farabi
terkenal sangat saleh dan zuhud.[9] Kemudian sultan memberi kedudukan
kepada beliau sebagai ulama istana dengan imbalan yang besar sekali,
tetapi Al-Farabi lebih memilih hidup sederhana (zuhud) dan tidak
tertarik kepada kemewahan dan kekayaan. Al-Farabi hanya membutuhkan
empat dirham untuk sekedar memenuhi kehidupan sehari-hari. Sedangkan
tunjangannya, Beliau bagikan kepada fakir-miskin dan amal sosial di
Aleppo dan Damaskus. Kurang lebih 10 tahun Al-Farabi hidup di dua kota
tersebut secara berpindah-pindah.
4. POKOK-POKOK PEMIKIRAN AL FARABI
Pokok-pokok pemikiran filsafat filsuf Al Farabi yang akan kami bahas, antara lain:
a. Filsafat Al Farabi
Al Farabi mendefinisikan
filsafat adalah: Al Ilmu Bilmaujudaat Bima Hiya Al Maujudaat, yang
berarti suatu ilmu yang menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang
ada ini. Bagi al Farabi, tujuan filsafat dan agama sama, yaitu
mengetahui semua wujud. Hanya saja filsafat memakai dalil-dalil yang
yakini dan ditujukan kepada golongan tertentu, sedang agama memakai cara
iqna’i (pemuasan perasaan), dan kiasan-kiasan, serta gambaran, dan
ditujukan kepada semua orang, bangsa, dan negara.[10] Al Farabi berhasil
meletakkan dasar-dasar filsafat ke dalam ajaran Islam. Dia juga
berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara filsafat Plato dan
Aristoteles, sebab kelihatan berlainan pemikirannya tetapi hakikatnya
mereka bersatu dalam tujuannya.
Al Farabi mendasarkan hidupnya
atas kemurnian jiwa, bahwa kebersihan jiwa dari kotoran-kotoran
merupakan syarat pertama bagi pandangan filsafat dan buahnya. Al Farabi
mempunyai dasar berfilsafat adalah memperdalam ilmu dengan segala yang
maujud hingga membawa pengenalan Allah sebagai penciptanya. Dengan arah
ke situ, maka filsafat adalah ilmu satu-satunya yang dapat menghamparkan
di depan kita dengan gambaran yang lengkap mengenai cakrawala dengan
segala cosmosnya (kaum).[11] Menurut Al Farabi tujuan terpenting dalam
mempelajari filsafat ialah mengetahui Tuhan. Bahwa Ia Esa dan tidak
bergerak, bahwa Ia menjadi sebab yang aktif bagi semua yang ada, bahwa
Ia yang mengatur alam ini dengan kemurahan, kebijaksanaan, dan
keadilan-Nya.[12]
b. Filsafat Politik Al Farabi
Al Farabi berpendapat bahwa ilmu
politik adalah ilmu yang meneliti berbagai bentuk tindakan, cara,
hidup, watak, disposisi positif, dan akhlak. Semua tindakan tersebut
dapat diteliti mengenai tujuannya, dan apa yang membuat manusia dapat
melakukan seperti itu, dan bagaimana yang mengatur, memelihara tindakan
dengan cara yang baik dapat diteliti. Dengan kata lain, politik adalah
bentuk operasional dari pemerintah dan raja. Pemerintah, raja, atau
penguasa ini haruslah orang yang paling unggul, baik dalam bidang
intelektual maupun moralnya diantara yang ada.[13] Adapun pemerintahan
dapat menjadi benar-benar baik jika ada teoritis dan praktis bagi
pengelolannya.[14]
c. Definisi dan Esensi Jiwa
Al Farabi mendefinisikan jiwa
sebagaimana definisi Aristoteles, yaitu ‘kesempurnaan awal bagi fisik
yang bersifat alamiah, mekanistik, dan memiliki kehidupan yang
energik’.[15] Makna ‘jiwa merupakan kesempurnaan awal bagi fisik’ adalah
bahwa manusia dikatakan menjadi sempurna ketika menjadi makhluk yang
bertindak. Kemudian makna ‘mekanistik’ adalah bahwa badan menjalankan
fungsinya melalui perantara alat-alat, yaitu anggota tubuhnya yang
beragam. Sedangkan makna ‘memiliki kehidupan energik’ adalah bahwa di
dalam dirinya terkandung kesiapan hidup dan persiapan untuk menerima
jiwa.
sumber dari : http://www.anekamakalah.com/2012/06/biografi-al-farabi-tokoh-islam-dunia.html
sumber dari : http://www.anekamakalah.com/2012/06/biografi-al-farabi-tokoh-islam-dunia.html
0 komentar:
Posting Komentar