visitors

Kamis, 23 Maret 2017

AL FARABI

1. BIOGRAFI AL FARABI

 Hasil gambar untuk gambar al farabi
Al-Farabi mempunyai nama lain diantaranya adalah Abu Nashr Muhammad Ibn Thorkhan Ibn Al-Uzalagh Al-Farabi, dikalangan orang-orang latin abad pertengahan Al-Farabi lebih dikenal dengan Abu Nashr (Abunasaer). Sebenarnya nama julukan Al-Farabi diambil dari nama kota Farab, Beliau dilahirkan di desa Wasij di Distrik Farab (Utrar, provinsi Transoxiana, Turkestan) pada tahun 257 H (870M), kadang-kadang Beliau mendapat sebutan orang Turki, sebab ayahnya sebagai orang Iran menikah dengan wanita Turki.[1]

Sangat sedikit yang kita bias ketahui tentang Al-Farabi, kebanyakan infornasi biografis tersebut tiga abad setelah wafatnya. Beberapa hal yang dapat kita ketahui tentang latar belakang keluarga Al-farabi adalah bahwa ayahnya seorang Opsir tentara pada Dinasti Samaniyyah yang menguasai wilayah Transoxiana wilayah otonom Bani Abbasyyah.[2] Keturunan Persia (kendatipun nama kakek dan kakek buyutnya jelas menunjukkan nama Turki). Ayahnya mengabdi pada pangeran-pangeran Dinasti Samaniyyah.[3] Al Farabi meninggal di Damaskus pada bulan Rajab 339 H/Desember 950 M pada usia 80 tahun, dan dimakamkan di luar gerbang kecil (al-bab al-saghir) kota bagian selatan.[4]

2. PENDIDIKAN AL FARABI

Sejak kecil Al-Farabi tekun dan rajin belajar, dalam olah kata, tutur bahasa ia mempunyai kecakapan yang luar biasa. Penguasaan terhadap Iran, Turkistan dan Kurdistan sangat dia pahami, justru bahasa Yunani dan Suryani sebagai bahasa Ilmu Pengetahuan pada masa itu belum dia kuasai. Pendidikan dasarnya ditempuh di Farab, yang penduduknya bermazhab Syafii.[5]

Untuk memulai karir dalam pengetahuannya, dia berhijrah dari negrinya ke kota Bagdad pada tahun 922 M yang mana pada waktu itu disebut sebagai kota Ilmu pengetahuan. Beliau belajar disana kurang lebih 10 tahun. Dengan berbekal ketajaman integensi sejak awal, dan mendapat karunia besar untuk menguasai hamper semua pelajaran yang dipelajari, Ia segera terkenal sebagai seorang filosof dan ilmuwan.[6] Beliau sangat menguasai semua cabang filsafat, logika, fisika, ketuhanan, ilmu alam, kedokteran, kimia, ilmu perkotaan, ilmu lingkungan, fiqih, ilmu militer, dan musik.[7] Di Baghdad, Beliau berguru kepada Ibnu Suraj untuk belajar tata bahasa Arab dan kepada Abu Bisyr Mattius Ibn Yunus untuk belajar filsafat dan logika. Beliau juga belajar kepada seorang Kristen Nestorian, tokoh filsafat aliran Alexandria yang banyak menterjemahkan filsafat Yunani, yaitu Yuhana Ibn Hailan yang sekaligus mengajak Al Farabi pergi ke Konstantinopel dan tinggal di sana selama 8 tahun guna mendalami filsafat. Sepulang dari Konstantinopel, Al Farabi mencurahkan diri dalam belajar, mengajar, dan menulis filsafat.

3. KARIER AL FARABI

Al-Farabi dikenal sebagai filsuf besar memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh menyeluruh dan mengupasnya dengan sempurna, sehingga filsuf yang datang seseudahnya seperti Ibn Sina dan Ibn Rusyd banyak mengambil filsafatnya. Pandangan al-Farabi tentang filsafat terbukti dengan usahanya untuk mengahiri kontradiksi antara pemikiran Plato dengan Aristoteles melalui risalahnya ‘Al-Jami’u baina ra’yay al-Hakimain Aflatun wa Aristhu’, pengetahuan yang mendalam tentang filsafat Plato dan Aristoteles menyebabkan Al-Farabi dijuluki sebagai ‘Al-Mu’alim At-Tsani’ (Guru kedua) sedangkan Al-Mu’alim al-awal (Guru pertama) adalah Aristoteles.[8]

Pada tahun 330 H (945 M) Beliau pindah ke Damaskus dan berkenalan dengan Saif Al-Daulah Al-Hamdani, Sultan Dinasti Hamdan di Aleppo. Di tempat ini beliau bertemu dengan para sastrawan, penyair, ahli bahasa, ahli fiqih, dan cendekiawan lainnya. Di Damaskus Al Farabi bekerja di siang hari sebagai tukang kebun, dan pada malam hari belajar teks-teks filsafat. Al Farabi terkenal sangat saleh dan zuhud.[9] Kemudian sultan memberi kedudukan kepada beliau sebagai ulama istana dengan imbalan yang besar sekali, tetapi Al-Farabi lebih memilih hidup sederhana (zuhud) dan tidak tertarik kepada kemewahan dan kekayaan. Al-Farabi hanya membutuhkan empat dirham untuk sekedar memenuhi kehidupan sehari-hari. Sedangkan tunjangannya, Beliau bagikan kepada fakir-miskin dan amal sosial di Aleppo dan Damaskus. Kurang lebih 10 tahun Al-Farabi hidup di dua kota tersebut secara berpindah-pindah.


4. POKOK-POKOK PEMIKIRAN AL FARABI

Pokok-pokok pemikiran filsafat filsuf Al Farabi yang akan kami bahas, antara lain:

a. Filsafat Al Farabi

Al Farabi mendefinisikan filsafat adalah: Al Ilmu Bilmaujudaat Bima Hiya Al Maujudaat, yang berarti suatu ilmu yang menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang ada ini. Bagi al Farabi, tujuan filsafat dan agama sama, yaitu mengetahui semua wujud. Hanya saja filsafat memakai dalil-dalil yang yakini dan ditujukan kepada golongan tertentu, sedang agama memakai cara iqna’i (pemuasan perasaan), dan kiasan-kiasan, serta gambaran, dan ditujukan kepada semua orang, bangsa, dan negara.[10] Al Farabi berhasil meletakkan dasar-dasar filsafat ke dalam ajaran Islam. Dia juga berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara filsafat Plato dan Aristoteles, sebab kelihatan berlainan pemikirannya tetapi hakikatnya mereka bersatu dalam tujuannya.

Al Farabi mendasarkan hidupnya atas kemurnian jiwa, bahwa kebersihan jiwa dari kotoran-kotoran merupakan syarat pertama bagi pandangan filsafat dan buahnya. Al Farabi mempunyai dasar berfilsafat adalah memperdalam ilmu dengan segala yang maujud hingga membawa pengenalan Allah sebagai penciptanya. Dengan arah ke situ, maka filsafat adalah ilmu satu-satunya yang dapat menghamparkan di depan kita dengan gambaran yang lengkap mengenai cakrawala dengan segala cosmosnya (kaum).[11] Menurut Al Farabi tujuan terpenting dalam mempelajari filsafat ialah mengetahui Tuhan. Bahwa Ia Esa dan tidak bergerak, bahwa Ia menjadi sebab yang aktif bagi semua yang ada, bahwa Ia yang mengatur alam ini dengan kemurahan, kebijaksanaan, dan keadilan-Nya.[12]

b. Filsafat Politik Al Farabi

Al Farabi berpendapat bahwa ilmu politik adalah ilmu yang meneliti berbagai bentuk tindakan, cara, hidup, watak, disposisi positif, dan akhlak. Semua tindakan tersebut dapat diteliti mengenai tujuannya, dan apa yang membuat manusia dapat melakukan seperti itu, dan bagaimana yang mengatur, memelihara tindakan dengan cara yang baik dapat diteliti. Dengan kata lain, politik adalah bentuk operasional dari pemerintah dan raja. Pemerintah, raja, atau penguasa ini haruslah orang yang paling unggul, baik dalam bidang intelektual maupun moralnya diantara yang ada.[13] Adapun pemerintahan dapat menjadi benar-benar baik jika ada teoritis dan praktis bagi pengelolannya.[14]

c. Definisi dan Esensi Jiwa

Al Farabi mendefinisikan jiwa sebagaimana definisi Aristoteles, yaitu ‘kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat alamiah, mekanistik, dan memiliki kehidupan yang energik’.[15] Makna ‘jiwa merupakan kesempurnaan awal bagi fisik’ adalah bahwa manusia dikatakan menjadi sempurna ketika menjadi makhluk yang bertindak. Kemudian makna ‘mekanistik’ adalah bahwa badan menjalankan fungsinya melalui perantara alat-alat, yaitu anggota tubuhnya yang beragam. Sedangkan makna ‘memiliki kehidupan energik’ adalah bahwa di dalam dirinya terkandung kesiapan hidup dan persiapan untuk menerima jiwa.
sumber dari :
1. BIOGRAFI AL FARABI

Al-Farabi mempunyai nama lain diantaranya adalah Abu Nashr Muhammad Ibn Thorkhan Ibn Al-Uzalagh Al-Farabi, dikalangan orang-orang latin abad pertengahan Al-Farabi lebih dikenal dengan Abu Nashr (Abunasaer). Sebenarnya nama julukan Al-Farabi diambil dari nama kota Farab, Beliau dilahirkan di desa Wasij di Distrik Farab (Utrar, provinsi Transoxiana, Turkestan) pada tahun 257 H (870M), kadang-kadang Beliau mendapat sebutan orang Turki, sebab ayahnya sebagai orang Iran menikah dengan wanita Turki.[1]

Sangat sedikit yang kita bias ketahui tentang Al-Farabi, kebanyakan infornasi biografis tersebut tiga abad setelah wafatnya. Beberapa hal yang dapat kita ketahui tentang latar belakang keluarga Al-farabi adalah bahwa ayahnya seorang Opsir tentara pada Dinasti Samaniyyah yang menguasai wilayah Transoxiana wilayah otonom Bani Abbasyyah.[2] Keturunan Persia (kendatipun nama kakek dan kakek buyutnya jelas menunjukkan nama Turki). Ayahnya mengabdi pada pangeran-pangeran Dinasti Samaniyyah.[3] Al Farabi meninggal di Damaskus pada bulan Rajab 339 H/Desember 950 M pada usia 80 tahun, dan dimakamkan di luar gerbang kecil (al-bab al-saghir) kota bagian selatan.[4]

2. PENDIDIKAN AL FARABI

Sejak kecil Al-Farabi tekun dan rajin belajar, dalam olah kata, tutur bahasa ia mempunyai kecakapan yang luar biasa. Penguasaan terhadap Iran, Turkistan dan Kurdistan sangat dia pahami, justru bahasa Yunani dan Suryani sebagai bahasa Ilmu Pengetahuan pada masa itu belum dia kuasai. Pendidikan dasarnya ditempuh di Farab, yang penduduknya bermazhab Syafii.[5]

Untuk memulai karir dalam pengetahuannya, dia berhijrah dari negrinya ke kota Bagdad pada tahun 922 M yang mana pada waktu itu disebut sebagai kota Ilmu pengetahuan. Beliau belajar disana kurang lebih 10 tahun. Dengan berbekal ketajaman integensi sejak awal, dan mendapat karunia besar untuk menguasai hamper semua pelajaran yang dipelajari, Ia segera terkenal sebagai seorang filosof dan ilmuwan.[6] Beliau sangat menguasai semua cabang filsafat, logika, fisika, ketuhanan, ilmu alam, kedokteran, kimia, ilmu perkotaan, ilmu lingkungan, fiqih, ilmu militer, dan musik.[7] Di Baghdad, Beliau berguru kepada Ibnu Suraj untuk belajar tata bahasa Arab dan kepada Abu Bisyr Mattius Ibn Yunus untuk belajar filsafat dan logika. Beliau juga belajar kepada seorang Kristen Nestorian, tokoh filsafat aliran Alexandria yang banyak menterjemahkan filsafat Yunani, yaitu Yuhana Ibn Hailan yang sekaligus mengajak Al Farabi pergi ke Konstantinopel dan tinggal di sana selama 8 tahun guna mendalami filsafat. Sepulang dari Konstantinopel, Al Farabi mencurahkan diri dalam belajar, mengajar, dan menulis filsafat.

3. KARIER AL FARABI

Al-Farabi dikenal sebagai filsuf besar memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh menyeluruh dan mengupasnya dengan sempurna, sehingga filsuf yang datang seseudahnya seperti Ibn Sina dan Ibn Rusyd banyak mengambil filsafatnya. Pandangan al-Farabi tentang filsafat terbukti dengan usahanya untuk mengahiri kontradiksi antara pemikiran Plato dengan Aristoteles melalui risalahnya ‘Al-Jami’u baina ra’yay al-Hakimain Aflatun wa Aristhu’, pengetahuan yang mendalam tentang filsafat Plato dan Aristoteles menyebabkan Al-Farabi dijuluki sebagai ‘Al-Mu’alim At-Tsani’ (Guru kedua) sedangkan Al-Mu’alim al-awal (Guru pertama) adalah Aristoteles.[8]

Pada tahun 330 H (945 M) Beliau pindah ke Damaskus dan berkenalan dengan Saif Al-Daulah Al-Hamdani, Sultan Dinasti Hamdan di Aleppo. Di tempat ini beliau bertemu dengan para sastrawan, penyair, ahli bahasa, ahli fiqih, dan cendekiawan lainnya. Di Damaskus Al Farabi bekerja di siang hari sebagai tukang kebun, dan pada malam hari belajar teks-teks filsafat. Al Farabi terkenal sangat saleh dan zuhud.[9] Kemudian sultan memberi kedudukan kepada beliau sebagai ulama istana dengan imbalan yang besar sekali, tetapi Al-Farabi lebih memilih hidup sederhana (zuhud) dan tidak tertarik kepada kemewahan dan kekayaan. Al-Farabi hanya membutuhkan empat dirham untuk sekedar memenuhi kehidupan sehari-hari. Sedangkan tunjangannya, Beliau bagikan kepada fakir-miskin dan amal sosial di Aleppo dan Damaskus. Kurang lebih 10 tahun Al-Farabi hidup di dua kota tersebut secara berpindah-pindah.


4. POKOK-POKOK PEMIKIRAN AL FARABI

Pokok-pokok pemikiran filsafat filsuf Al Farabi yang akan kami bahas, antara lain:

a. Filsafat Al Farabi

Al Farabi mendefinisikan filsafat adalah: Al Ilmu Bilmaujudaat Bima Hiya Al Maujudaat, yang berarti suatu ilmu yang menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang ada ini. Bagi al Farabi, tujuan filsafat dan agama sama, yaitu mengetahui semua wujud. Hanya saja filsafat memakai dalil-dalil yang yakini dan ditujukan kepada golongan tertentu, sedang agama memakai cara iqna’i (pemuasan perasaan), dan kiasan-kiasan, serta gambaran, dan ditujukan kepada semua orang, bangsa, dan negara.[10] Al Farabi berhasil meletakkan dasar-dasar filsafat ke dalam ajaran Islam. Dia juga berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara filsafat Plato dan Aristoteles, sebab kelihatan berlainan pemikirannya tetapi hakikatnya mereka bersatu dalam tujuannya.

Al Farabi mendasarkan hidupnya atas kemurnian jiwa, bahwa kebersihan jiwa dari kotoran-kotoran merupakan syarat pertama bagi pandangan filsafat dan buahnya. Al Farabi mempunyai dasar berfilsafat adalah memperdalam ilmu dengan segala yang maujud hingga membawa pengenalan Allah sebagai penciptanya. Dengan arah ke situ, maka filsafat adalah ilmu satu-satunya yang dapat menghamparkan di depan kita dengan gambaran yang lengkap mengenai cakrawala dengan segala cosmosnya (kaum).[11] Menurut Al Farabi tujuan terpenting dalam mempelajari filsafat ialah mengetahui Tuhan. Bahwa Ia Esa dan tidak bergerak, bahwa Ia menjadi sebab yang aktif bagi semua yang ada, bahwa Ia yang mengatur alam ini dengan kemurahan, kebijaksanaan, dan keadilan-Nya.[12]

b. Filsafat Politik Al Farabi

Al Farabi berpendapat bahwa ilmu politik adalah ilmu yang meneliti berbagai bentuk tindakan, cara, hidup, watak, disposisi positif, dan akhlak. Semua tindakan tersebut dapat diteliti mengenai tujuannya, dan apa yang membuat manusia dapat melakukan seperti itu, dan bagaimana yang mengatur, memelihara tindakan dengan cara yang baik dapat diteliti. Dengan kata lain, politik adalah bentuk operasional dari pemerintah dan raja. Pemerintah, raja, atau penguasa ini haruslah orang yang paling unggul, baik dalam bidang intelektual maupun moralnya diantara yang ada.[13] Adapun pemerintahan dapat menjadi benar-benar baik jika ada teoritis dan praktis bagi pengelolannya.[14]

c. Definisi dan Esensi Jiwa

Al Farabi mendefinisikan jiwa sebagaimana definisi Aristoteles, yaitu ‘kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat alamiah, mekanistik, dan memiliki kehidupan yang energik’.[15] Makna ‘jiwa merupakan kesempurnaan awal bagi fisik’ adalah bahwa manusia dikatakan menjadi sempurna ketika menjadi makhluk yang bertindak. Kemudian makna ‘mekanistik’ adalah bahwa badan menjalankan fungsinya melalui perantara alat-alat, yaitu anggota tubuhnya yang beragam. Sedangkan makna ‘memiliki kehidupan energik’ adalah bahwa di dalam dirinya terkandung kesiapan hidup dan persiapan untuk menerima jiwa.
sumber dari :  http://www.anekamakalah.com/2012/06/biografi-al-farabi-tokoh-islam-dunia.html
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

visitors

Recent Posts

Unordered List

  • Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.
Diberdayakan oleh Blogger.
Powered By Blogger

jejak dan pengaruh islam di dunia

Translate